I.
Latar
Belakang
Negara
Indonesia adalah negara hukum.
Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan. Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham
negara hukum terdapat tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan
hukum (equality before the law), dan
penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Dalam penjabaran
selanjutnya, pada setiap negara hukum mempunyai ciri-ciri:
1.
Jaminan
perlindungan hak-hak asasi manusia;
2.
Kekuasaan kehakiman
atau peradilan yang merdeka;
3. Legalitas dalam
arti hukum, yaitu bahwa baik pemerintah/Negara maupun warga Negara dalam
bertindak harus berdasar atas melalui hukum.
Utrecht
mengemukakan, bahwa hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah-perintah dan
larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan
seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.
Menurut J.C.T Simorangkir, hukum
adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku
manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang
berwajib, pelanggaran terhadap peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan,
dengan hukuman tertentu.
Hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara memiliki kedudukan
yang penting, Roeslan Saleh menyatakan,
bahwa:
“Cita hukum bangsa dan negara Indonesia adalah
pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
untuk membangun negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Cita
hukum itulah Pancasila”.
Negara
Indonesia dalam mencapai cita hukumnya, sesuai pada Pasal 27 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Dengan
begitu, bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat negara dan penduduk
(warga negara dan orang asing) harus berdasarkan dan sesuai dengan hukum.
Dalam
upaya mewujudkan kehidupan yang damai, aman dan tentram, diperlukan adanya
aturan untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat agar sesama manusia dapat
berperilaku dengan baik dan rukun. Namun, gesekan dan perselisihan antar sesama
manusia tidaklah dapat dihilangkan. Maka, hukum diberlakukan terhadap siapapun
yang melakukan perbuatan melanggar hukum.
Menurut
Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa berhasil
atau tidaknya penegakan
hukum bergantung pada: Substansi Hukum,
Struktur Hukum/Pranata Hukum dan
Budaya Hukum. Substansi Hukum
adalah bagian substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum
itu dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang
berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, atau aturan baru yang mereka susun. Substansi juga
mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada
dalam kitab undang-undang (law books). Sebagai negara yang masih
menganut sistem Civil Law Sistem
atau sistem Eropa Kontinental (meski sebagian peraturan perundang-undangan juga
telah menganut Common Law
Sistem atau Anglo Saxon) dikatakan hukum adalah peraturan-peraturan yang
tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang tidak tertulis bukan dinyatakan
hukum. Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di Indonesia. Salah satu
pengaruhnya adalah adanya asas Legalitas dalam KUHP. Dalam Pasal 1 KUHP
ditentukan “tiada suatu perbuatan dapat pidana kecuali atas kekuatan hukum
yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”. Sehingga bisa atau
tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut
telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan.
Struktur Hukum/Pranata
Hukum disebut sebagai sistem struktural
yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Struktur
hukum berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 meliputi; mulai dari Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan Badan Pelaksana Pidana (LP).
Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam
melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Terdapat adagium yang menyatakan “fiat justitia et pereat mundus”
(meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Hukum tidak dapat berjalan
atau tegak bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan
independen. Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak
didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan. Lemahnya
mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas
aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses
rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas
bahwa faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum.
Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada
masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak
hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.
Budaya/Kultur Hukum menurut Lawrence
M. Friedman
adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai,
pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan
kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau
disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat.
Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang
baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara
sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu
indikator berfungsinya hukum.
Baik
substansi hukum, struktur hukum maupun budaya hukum saling keterkaitan
antara satu dengan yang lain dan tidak dapat dipisahkan. Dalam pelaksanaannya
diantara ketiganya harus tercipta hubungan yang saling mendukung agar tercipta
pola hidup aman, tertib, tentram dan damai.
Jimly
Asshiddiqie menuliskan dalam makalahnya, mengemukakan pengertian penegakan
hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata
sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas
atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Selanjutnya ia
mengemukakan pendapat, bahwa penegakan hukum dapat dilihat dari sudut subjek
dan subjeknya:
Ditinjau dari sudut subjeknya,
penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas
dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti
yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu
melibatkan semua subjek hukum dalam setiap
hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan
hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu,
penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan
hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan
sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila
diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya
paksa. Pengertian
penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari
segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan
sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan
yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.
Dengan pemaparan latar belakang di atas, bahwa dalam penegakan
hukum diperlukan adanya harmonisasi dari unsur-unsur, mulai dari subtansi/isi,
struktur/aparaturnya, dan juga didukung oleh kulturnya. Namun, yang menjadi
fokus penelitian pada makalah ini, kami ingin melihat penegakan hukum dalam aspek keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, yang pada akhirnya
menyimpulkan bagaimanakah kecenderungan penegakan hukum di Indonesia dilihat
dari tiga aspek tersebut.
II.
Identifikasi
Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas,
kami akan mengerucutkan pembahasan tentang bagaimanakah penegakan hukum ditinjau dari aspek kepastian hukum,
keadilan dan kemanfaatan,
dan menyimpulkan bagaimanakah kecenderungan penegakan hukum di Indonesia
dilihat dari tiga aspek tersebut
III. Perumusan Masalah.
1. Bagaimanakah penegakan hukum ditinjau dari aspek kepastian hukum,
keadilan dan kemanfaatan?
2. Bagaimanakah kecenderungan penegakan hukum di Indonesia dilihat
dari tiga aspek tersebut?
IV.
Pembahasan
Hukum mempunyai posisi strategis dan
dominan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Hukum sebagai suatu
sistem, dapat berperan dengan baik dan benar ditengah masyarakat jika instrumen
pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan
hukum. Pelaksanaan hukum itu dapat
berlangsung secara normal, tetapi juga dapat terjadi karena pelanggaran hukum,
oleh karena itu hukum yang sudah dilanggar itu harus ditegakkan. Menurut Gustav Radbruch terdapat tiga (3) unsur utama/tujuan dalam penegakan hukum, yaitu keadilan
(Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtssicherheit) dan kemanfaatan (Zweckmaβigkeit).
Kepastian hukum oleh setiap orang dapat terwujud dengan ditetapkannya hukum
dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Hukum yang berlaku pada dasarnya
tidak dibolehkan menyimpang, hal
ini dikenal juga dengan istilah fiat
justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus
ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum
merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan
sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu
yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya
kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih
tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban
masyarakat. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau
penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau
penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Hukum
tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang,
bersifat menyamaratakan. Barang siapa mencuri harus dihukum, dimana setiap
orang yang mencuri harus dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri.
Kepastian hukum sangat identik dengan pemahaman positivisme hukum. Positivisme
hukum berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum
adalah undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan
undang-undang pada peristiwa yang konkrit.
Undang-undang dan hukum diidentikkan. Hakim
positivis dapat dikatakan sebagai corong undang-undang. Montesquieu
menuliskan
dalam bukunya “De l’esprit des lois” yang
mengatakan:
“Dans le gouverment republicant, il est de la
nature de la constitution que les juges suivent la letter de la loi…Les juges
de la nation ne sont qui la bounce qui pronounce les parolesde la loi, des
etres inanimes qui n’en peivent moderer ni la force ni la rigueur” (Dalam
suatu negara yang berbentuk Republik, sudah sewajarnya bahwa undang-undang
dasarnya para hakim menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang tertulis dalam
undang-undang. Para hakim dari negara tersebut adalah tak lain hanya merupakan
mulut yang mengucapkan perkataan undang-undang, makhluk yang tidak berjiwa dan
tidak dapat mengubah, baik mengenai daya berlakunya, maupun kekerasannya).
Dengan pernyataan itu,
legisme sejalan dengan Trias Politika dari Montesquieu,
yang menyatakan bahwa, hanya apa yang dibuat oleh badan legislatif saja
yang dapat membuat hukum, jadi suatu kaidah yang tidak ditentukan oleh badan
legislatif bukanlah merupakan suatu kaidah, hakim dan kewenangan pengadilan
hanya menerapkan undang-undang saja.
Penegakan hukum yang mengutamakan kepastian hukum juga akan membawa masalah
apabila penegakan hukum terhadap permasalahan yang ada dalam masyarakat tidak
dapat diselesaikan berdasarkan hati nurani dan keadilan.
Keadilan adalah harapan yang harus dipenuhi dalam penegakan
hukum. Berdasarkan karakteristiknya, keadilan bersifat subyektif, individualistis dan tidak
menyamaratakan. Apabila penegak hukum menitik beratkan kepada nilai keadilan
sedangkan nilai kemanfaatan dan kepastian hukum dikesampingkan,
maka hukum itu tidak dapat berjalan dengan baik. Demikian pula sebaliknya jika
menitik beratkan kepada nilai kemanfaatan sedangkan kepastian hukum dan keadilan dikesampingkan, maka hukum itu tidak
jalan. Idealnya dalam menegakkan hukum itu nilai-nilai dasar keadilan yang merupakan
nilai dasar filsafat dan nilai-nilai dasar kemanfaatan merupakan suatu kesatuan berlaku secara
sosiologis, serta nilai dasar kepastian hukum yang merupakan kesatuan yang
secara yuridis harus diterapkan secara seimbang dalam penegakan hukum.
Hal menarik yang perlu dicermati apabila terdapat 2 (dua)
unsur yang saling tarik menarik antara Keadilan dan Kepastian Hukum, Roeslan Saleh mengemukakan:
“Keadilan dan
kepastian hukum merupakan dua tujuan hukum yang kerap kali tidak sejalan satu
sama lain dan sulit dihindarkan dalam praktik hukum. Suatu peraturan hukum yang
lebih banyak memenuhi tuntutan kepastian hukum, maka semakin besar pada
kemungkinannya aspek keadilan yang terdesak. Ketidaksempurnaan peraturan hukum
ini dalam praktik dapat diatasi dengan jalan memberi penafsiran atas peraturan
hukum tersebut dalam penerapannya pada kejadian konkrit. Apabila dalam
penerapannya dalam kejadian konkrit, keadilan dan kepastian hukum saling
mendesak, maka hakim sejauh mungkin harus mengutamakan keadilan di atas kepastian
hukum”.
Roscue
Pound sebagai salah satu ahli hukum yang ber-mazhab pada Sosiological Jurisprudence, terkenal
dengan teorinya yang menyatakan bahwa, “hukum adalah alat untuk memperbarui
(merekayasa) masyarakat (law as a tool of
social engineering)”.
Hal inilah yang menjadi tolak pemikiran dari Satjipto Raharjo dengan menyatakan,
”bahwa
hukum adalah untuk manusia, pegangan, optik atau keyakinan dasar, tidak melihat
hukum sebagai suatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang
berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia
sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”.
Dengan demikian, bahwa kedudukan keadilan merupakan unsur
yang sangat penting dalam penegakan hukum di Indonesia. Indonesia memiliki
kultur masyarakat yang beragam dan memiliki nilai yang luhur, tentunya sangat
mengharapkan keadilan dan kemanfaatan yang dikedepankan dibandingkan unsur
kepastian hukum. Keadilan merupakan hakekat dari hukum, sehingga penegakan
hukum pun harus mewujudkan hal demikian. Disamping kepastian hukum dan
keadilan, unsur lain yang perlu diperhatikan adalah kemanfaatan.
Kemanfaatan dalam penegakan hukum merupakan hal yang
tidak bisa dilepaskan dalam mengukur keberhasilan penegakan hukum di Indonesia.
Menurut aliran Utilitarianisme, penegakan hukum mempunyai tujuan
berdasarkan manfaat tertentu (teori manfaat atau teori tujuan), dan bukan hanya
sekedar membalas perbuatan pembuat pidana, bukanlah sekedar untuk melakukan
pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang melakukan tindak pidana, tetapi
mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.
Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Hukum yang baik adalah hukum yang
memberikan kebahagiaan bagi banyak orang. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Jeremy Bentham, bahwa:
“Pemidanaan itu harus bersifat spesifik
untuk tiap kejahatan dan seberapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi
jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan
tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia memberikan harapan bagi
tercegahnya kejahatan yang lebih besar”.
Maka, apabila
melihat hal yang ideal berdasarkan 3 (tiga) unsur/tujuan penegakan hukum yang
telah dikemukakan di atas, penegakan hukum di Indonesia terlihat cenderung
mengutamakan kepastian hukum. Harmonisasi antar unsur yang
diharapkan dapat saling mengisi, ternyata sangat sulit diterapkan di Indonesia.
Aparat penegak hukum cenderung berpandangan, hukum adalah perundang-undangan
dan mengutamakan legal formil dalam setiap menyikapi fenomenal kemasyarakatan.
V.
Kesimpulan
Bahwa dari pembahasan
di atas, kami menyimpulkan bahwa terdapat kelemahan-kelemahan yang terjadi
dalam penegakan hukum di Indonesia. Sejak lama para pencari keadilan/masyarakat
mendambakan penegakan hukum yang adil. Namun,
dalam praktik penegakan hukum yang sedang berlangsung saat ini, pengutamaan
nilai kepastian hukum lebih menonjol dibandingkan dengan rasa keadilan
masyarakat. Berbagai putusan pengadilan, misalnya dalam kasus nenek Minah dan
Aal pencuri sandal, sepertinya menggambarkan penegakan hukum cenderung
perpandangan bahwa hukum adalah undang-undang, dan menimbulkan kekecewaan
masyarakat terhadap
penegakan hukum di Indonesia.
Maka, kami memberi
masukan dan jalan keluar, bahwa dalam hal substance/perundang-undangan, misalnya
dengan melakukan upaya-upaya perbaikan/pembaruan
terhadap perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai yg ada
dalam masyarakat (contohnya: pengesahan RUU KUHP), meng-amandemen UUD oleh lembaga legislative, uji materiil UU
dengan UUD NRI 1945 di MK, ataupun
uji materiil peraturan yang ada di bawah UU dengan UU di MA. Perbaikan dalam
hal stuktur/aparatur penegak hukum, diperlukan adanya pendekatan dalam
pembentukan character building
(pembinaan ESQ) dan keagamaan serta peningkatan SDM, sehingga aparatur penegak
hukum di Indonesia memiliki mental yang kuat dan mampu mengemban amanat sesuai
rasa keadilan dalam masyarakat. Dalam perbaikan legal culture dalam masyarakat,
apabila secara substance dan struktur sudah berjalan dengan baik, maka legal
culture pun akan mengikuti dengan sendirinya. Demikianlah pemaparan dalam
makalah ini, mudah-mudahan dapat menambah wawasan dan menjadi bacaan yang
bermanfaat.
Artikel:
Abdul Halim, Teori-teori Hukum Aliran Positivisme dan
Perkembangan Kritik-kritiknya dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No.
II, 2009, hlm. 390. Diakses dari www.google.com pada 14 April
2012.
Jimly
Asshiddiqie, Makalah Penegakan
Hukum, diakses dari
google.com pada 17 April 2012.
http://ashibly.blogspot.com/2011/07/teori-hukum.html