Kamis, 22 Maret 2012

TINDAK PIDANA NARKOTIKA; PENYALAHGUNA DAN PECANDU NARKOTIKA (PENJATUHAN TINDAKAN REHABILITASI)

Manusia dalam kehidupan dan peradabannya selalu berusaha memajukan dan memudahkan pemenuhan keperluan hidupnya. Pemenuhan kebutuhan hidup akan semakin mudah didapatkan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dapat membawa banyak dampak positif bagi kehidupan. Salah satunya yakni ditemukannya berbagai jenis obat-obatan yang sangat berguna bagi kesehatan. Manusia sudah dapat mengenal dan menemukan berbagai macam tumbuhan-tumbuhan obat sejak ribuan tahun yang lalu, misalnya candu dan opium, yang dapat dikategorikan sebagai narkotika.

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan[1]. Pada dasarnya narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan bagi pengobatan penyakit tertentu. Narkotika juga sangat diperlukan dalam pengembangan ilmu kesehatan dan ilmu pengetahuan. Namun disamping fungsi-fungsi positif itu, narkotika juga mempunyai dampak negatif apabila disalahgunakan tanpa pengawasan yang ketat, yaitu menyebabkan berkembangnya penyalahgunaan narkotika dan peredaran gelap narkotika.

Perkembangan modernisasi sosial ekonomi dan peradaban terbukti dapat membawa kepada kondisi yang kurang menentu seperti adanya persaingan hidup yang lebih ketat, hilangnya norma-norma ikatan keluarga, menipisnya kepercayaan agama, adanya benturan-benturan sosial merupakan kesulitan zaman yang memberikan peluang tumbuhnya kecondongan penyalahgunaan obat (narkotika, psikotropika dan alkohol)[2]. Masalah penyalahgunaan narkoba merupakan masalah yang menjadi keprihatinan secara nasional dan internasional di samping masalah HIV/AIDS, kekerasan(violence), kemiskinan, pencemaran lingkungan, pemanasan global dan kelangkaan pangan, yang dianggap sebagai penyakit-penyakit yang menjadi beban dunia[3].

Tindak pidana narkotika merupakan kejahatan yang mempunyai daya pengrusak generasi yang sangat besar. Bahaya narkotika dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan negara, serta dapat merugikan diri sendiri, keluarga, teman, dan lingkungan masyarakat tanpa mengenal strata ekonomi seseorang. Peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika adalah masalah yang besar yakni dapat mengganggu kehidupan sosial, ekonomi dan politik nasional maupun dunia internasional.

Dampak sosial dan ekonomi perdagangan dan penyalahgunaan narkotika sangat mengkhawatirkan dunia. Menurut penelitian Badan Narkotika Nasional bersama Puslitkes UI, mencatat:

Kerugian biaya ekonomi dan sosial akibat narkotika di Amerika Serikat mencapai $181 milyar (UNDCP, 2004), sedangkan di Canada $8,2 milyar pada tahun 2002 (Rehm, 2006). Di Australia kerugian mencapai sekitar $8,190 juta pada tahun 2004/2005 (Collins, 2008). Perbandingan kerugian biaya narkotika terhadap gross domestic product (GDP) di Amerika Serikat sebesar 1,7%, Canada 0,98%, Australia 0,88% dan Perancis 0,16% (UNDCP, 2004). Di Indonesia, kerugian diperkirakan Rp.23,6 trilyun atau $2,6 milyar pada tahun 2004 (BNN & Puslitkes UI, 2005). Di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir penyalahgunaan narkotika meningkat pesat, baik dari jumlah sitaan barang bukti maupun jumlah tersangka. Hasil sitaan barang bukti, misalkan ekstasi meningkat dari 90.523 butir (2001) menjadi 1,3 juta butir (2006), Sabu dari 48,8 kg (2001) menjadi 1.241,2 kg (2006). Jumlah tersangka meningkat dari 4.924 orang tahun 2001 menjadi 31.635 orang tahun 2006 (Mabes Polri, 2007). Angka-angka yang dilaporkan ini hanya puncak gunung es dari masalah narkotika yang jauh lebih besar[4].

Fenomena penyalahgunaan obat merupakan masalah yang cukup kompleks dan rumit seperti benang kusut, dari bagian mana yang akan ditarik untuk dapat diluruskan, walau dunia telah bersatu padu mengatasi persoalan yang belum terpecahkan dan bahkan meluas itu[5].

Keseriusan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di dunia mulai dibahas pada penyelenggaraan Konvensi Tunggal Narkotika pada tahun 1961, lalu dilanjutkan dengan konferensi tentang narkotika/psikotropika di Wina-Austria yang menghasilkan Convention Psycotropic Substances 1971. Konvensi tersebut mengatur kerjasama internasional dalam pengendalian dan pengawasan produksi, peredaran dan penggunaan psikotropika, serta mencegah, pemberantasan penyalahgunaannya dengan membatasi penggunaan hanya bagi pengobatan dan ilmu pengetahuan.

Selanjutnya diadakan Konvensi Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika pada tahun 1988. Konvensi ini membuka kesempatan bagi negara-negara yang mengakui dan meratifikasinya untuk melakukan kerjasama dalam penanggulangan penyalahgunaan dan pemberantasan peredaran gelap narkotika, baik secara bilateral maupun multilateral.

Tindak pidana narkotika hingga saat ini semakin menjadi masalah yang serius dan sulit untuk diberantas. Tindak pidana narkotika sudah terkenal dalam dunia internasional yang mempunyai jaringan luas dan rumit. Segala kegiatannya merupakan cara yang terselubung dengan segala kekerasan[6]. Peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika ini bukanlah tindak pidana yang dilakukan oleh orang perorangan, namun diselenggarakan oleh kelompok-kelompok yang memiliki jaringan yang luas dan terorganisir. Disamping itu kelompok kejahatan narkotika ini menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, sehingga dalam melakukan pencegahan dan pemberantasannya perlu kerja keras dan kerjasama yang kuat antara aparatur negara dengan seluruh elemen masyarakat, bahkan juga bekerjasama dengan negara lain.

Sebagai bukti keseriusan dalam memberantas peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika, maka Indonesia menerbitkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika menggantikan Ordonansi Obat Narkotika/Verdoovande Middelen Ordonantie (Stbl. 1927 No. 278 jo. No. 536) peninggalan Hindia Belanda. Seiring perubahan zaman, Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika diubah menjadi Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 dan diikuti dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Narkotika tersebut kini sudah pada perubahan kedua yakni dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang didalamnya terdapat penambahan aturan-aturan baru. Kepala Badan Narkotika Nasional, Gories Mere menyatakan, bahwa :

“Pada Undang-undang Narkotika yang baru ini, antara lain menerapkan pidana yang berat bahkan pidana mati bagi pengedar, pengimpor, dan produsen narkotika, dibentuknya BNN sebagai Lembaga Pemerintahan Non Kementerian yang merupakan organisasi vertikal dari pusat sampai provinsi dan kabupaten/kota, adanya pengaturan putusan/penetapan hakim memberikan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika, Undang-Undang ini telah memperkuat bidang pemberantasan/penegakan hukum dengan memberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan kepada BNN disamping penyidik POLRI, berwenang melakukan perampasan barang bukti yang digunakan untuk kepentingan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika, perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delivery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika[7].

Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur, maka Pemerintah Indonesia makin gencar melakukan upaya pencegahan, pemberantasan, pemberdayaan masyarakat, perehabilitasian, maupun penegakan hukum. Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah saat ini belumlah dapat membawa perubahan yang signifikan, karena kasus-kasus tindak pidana narkotika semakin meningkat, menurut data Badan Narkotika Nasional diterbitkan pada tahun 2009, bahwa:

“Pada tahun 2005 terdapat 16.252 kasus (Narkotika 8.171, Psikotropika 6.733, dan Zat adiktif 1.348), pada tahun 2006 terdapat 17.355 kasus (Narkotika 9.422, Psikotropika 5.658, dan Zat Adiktif 2.275), pada tahun 2007 terjadi peningkatan hingga 22.630 kasus (Narkotika 11.380, Psikotropika 9.289, dan Zat adiktif 1.961), pada tahun 2008 juga terdapat peningkatan menjadi 29.364 kasus (Narkotika 10.008, Psikotropika 9.783, Zat adiktif 9.573) dan pada tahun 2009 masih terjadi peningkatan hingga 30.668 kasus (Narkotika 11.132, Psikotropika 8.732, dan Zat adiktif 10.804)”[8].

David Hallstrom berpendapat, “Ingat, jika tidak ada pengguna narkoba tidak akan ada perdagangan narkoba”[9]. Peningkatan kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang terjadi di Indonesia dapat juga disebabkan karena peredaran narkotika salah satu bisnis yang paling menggiurkan, apalagi dengan keadaaan Indonesia yang berupa wilayah nusantara (memiliki 85.000 km garis pantai, rawan penyelundupan), merupakan jembatan lalu lintas manusia maupun barang antara Asia dengan Australia, masih tinggi angka kemiskinannya, banyak pengangguran, potensi konsumtif yang tinggi (karena penduduknya terbesar keempat di dunia), serta adanya kelemahan pada penegakan hukum[10]. Kelemahan-kelamahan inilah yang dimanfaatkan para pengedar narkotika sehingga mereka rela melakukan hal yang sangat berbahaya dan beresiko demi mendapatkan imbalan yang besar.

Kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika bahkan menjadi bahan berita yang hampir setiap hari muncul di media massa. Kasus penyalahgunaan narkotika dan peredaran gelap kini sudah terjadi diseluruh pelosok negeri ini. Bahkan Lembaga Pemasyarakatan yang ada diseluruh Indonesia, sebagian besar dipenuhi oleh pelaku tindak pidana narkotika. Menurut data Direktur Bina Khusus Narkotika-Ditjenpas, November 2009:

“Banyak Lapas atau Rutan yang over kapasitas, yang menyebabkan kerawanan keamanan dan kertertiban dan kerawanan kesehatan. Kelebihan daya tampung di seluruh Lapas/Rutan di Indonesia mencapai 56%. Awalnya, Lapas/Rutan di Indonesia mampu menampung 89.549 orang, namun daya tampung membengkak menjadi 140.423 orang hingga September 2009. Dari jumlah itu, 37.295 orang diantaranya adalah kasus narkoba. Jumlah orang dengan kasus narkoba tersebut tersebar di 413 Lapas/Rutan yang ada di Indonesia”. BNN sendiri sebenarnya sudah mengakomodir hak rehabilitasi korban Napza melalui UNITRA (Unit Terapi Rehabilitasi) di Lido Jabar. Namun tempat rehabilitasi tersebut hanya mampu menampung 500 orang. Daya tampung tersebut tentu tidak sebanding dengan perkiraan jumlah korban Napza yang mencapai 3,6 juta orang”[11].

Keadaan tersebut semakin menakutkan, karena menurut data BNN, “Setiap hari, 40 orang meninggal dunia di negeri ini akibat over dosis narkoba”[12]. Dengan keberadaan saat ini Pecandu narkotika memang kurang mendapat perhatian untuk mendapatkan rehabilitasi, mengapa demikian?

Dengan kondisi yang semakin meningkatnya penyalahguna narkotika, maka Pemerintah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 diharapkan gencar mengupayakan perehabilitasian bagi para penyalahguna dan pecandu narkotika. Benny J. Mamoto, Direktur Narkotika Alami BNN berpendapat mengenai perubahan yang ada pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ini, ia mengatakan, “program-program BNN mengacu pada UU No. 35 Tahun 2009. Jika sebelumnya para penyalahguna diperlakukan sebagai kriminal, hanya tangkap-tahan-proses-masuk Lembaga Pemasyarakatan (LP). Namun, UU No. 35 ini justru lebih manusia dan empati terhadap penyalahguna narkoba. Penyalahguna diperlakukan sebagai korban”[13]. Apabila dikatakan sebagai korban, maka sudah jelas bahwa seorang penyalahguna dan pecandu haruslah dijauhkan dari stigma pidana, tetapi harus diberikan perawatan.

Tindakan Rehabilitasi merupakan upaya untuk menyelamatkan generasi muda yang terbelenggu oleh bahaya narkotika. Generasi muda merupakan aset pembangunan bangsa dan negara yang sangat diharapkan menjadi generasi yang terbaik untuk meneruskan perjuangan bangsa ini. Peredaran gelap narkotika memang menjadikan generasi muda menjadi target utama, karena pada saat remaja itulah dimana seseorang sedang mencari jati diri dan terkadang rentan akan pengaruh-pengaruh yang buruk.

Masa remaja adalah masa yang kritis, masa puber, masa yang paling berat dan berbahaya karena masa ini dipandang sebagai persiapan menjadi dewasa. Remaja perlu dibekali segala ketahanan, baik mental, moral, pendidikan, kepribadian dan keyakinan agama. Ketahanan inilah yang dapat dijadikan benteng pertahanan untuk menangkal berbagai cobaan dan godaan yang menimpanya. Hal ini sangat penting mengingat pemuda adalah pemimpin di masa depan.

Penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan yang dilakukan tidak untuk maksud pengobatan, tetapi karena ingin menikmati pengaruhnya, dalam jumlah berlebih, kurang teratur, dan berlangsung cukup lama, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, mental dan kehidupan sosial[14]. Setelah menggunakan narkotika tanpa pengawasan dokter, maka mengakibatkan ketergantungan. Ketergantungan narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas[15]. Addiksi adalah istilah yang dipakai untuk melukiskan keadaan seseorang yang menyalahgunakan obat sedemikian rupa sehingga badan dan jiwanya memerlukan obat tersebut untuk berfungsi secara normal[16]. Ketergantungan, kecanduan, adiksi disebut penyakit, bukan kelemahan moral, meskipun ada unsur moral pada awalnya. Sebagai penyakit, penyalahgunaan narkotika dapat dijelaskan gejalanya yang khas, yang berulang kali kambuh (relaps), dan berlangsung progresif artinya semakin memburuk, apabila tidak ditolong dan dirawat dengan baik[17]. Denis L. Thom, melihat adiksi/kecanduan narkoba sebagai penyakit yang harus disembuhkan. Untuk itu pendekatan aspek hukum bila pecandu harus divonis di pengadilan mereka harus dirawat di panti rehabilitasi secara memadai[18].

Menurut Pasal 54 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, Pecandu narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial di pusat rehabilitasi ketergantungan narkotika. Dengan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial pecandu, dengan tujuan akhir dengan sembuhnya pecandu dari belenggu ketergantungan narkotika, maka cara ini akan menjadi alat pemutus rantai siklus peredaran gelap narkotika (bertolak pada permintaan dan penawaran) yang belakangan ini meningkat.

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 103 menyebutkan:

(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:

a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau[19]

b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika[20].

(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi
Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Pasal 127 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan:

(1) Setiap Penyalah Guna:

1. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;

2. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan

3. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.

(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pengaturan mengenai penerapan tindakan rehabilitasi dalam Undang-Undang Narkotika ini terkandung pada pasal 54, 103, dan 127 sebagaimana disebutkan diatas. Disamping itu, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 tahun 2010 mengatur mengenai Penempatan penyalahgunaan, korban penyalahgunaan, dan pecandu narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, yang di dalamnya juga menjelaskan hal-hal yang dapat menjadi pertimbangan Hakim dalam memutuskan Terdakwa penyalahguna narkotika untuk mendapat tindakan Rehabilitasi. Apabila dihitung sejak 12 Oktober 2009 diberlakukannya Undang-Undang ini, apakah Undang-Undang ini dapat mempermudah hakim dalam menerapkan tindakan rehabilitasi terhadap penyalahguna dan pecandu narkotika? Dan apakah peraturan perundang-undangan ini sudah dapat melindungi hak rehabilitasi para pecandu? Karena hingga akhir tahun 2010, Badan Narkotika Nasional hanya mencatat sebanyak 16 pecandu yang telah divonis hakim berdasarkan rujukan SEMA untuk menjalani perehabilitasian[21]. Pecandu sebanyak 16 orang tersebut merupakan 2% dari 674 residen total residen yang menjalani rehabilitasi di Lido. Sebagian lainnya yakni 398 orang(59%) atas rujukan keluarga, 248 orang(37%) atas rujukan BNP, dan 12 orang(2%) atas rujukan Kepolisian[22]. Para pecandu yang telah dirawat di Unit Terapi dan rehabilitasi merupakan pecandu yang beruntung, karena masih banyak pecandu-pecandu lain yang mendekam di Lapas.



[1] Republik Indonesia, Undang-Undang, tentang, Narkotika, Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, Pasal 1 butir 1.

[2] Sumarmo Ma’sum, Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat, (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1987), hlm. 2.

[3] Badan Narkotika Nasional, Himpunan Hasil Penelitian Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika Tahun 2009. (Jakarta: 2010), hlm. 111.

[4] Badan Narkotika Nasional dan Pusat Penelitian Kesehatan UI, Laporan Survei Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia: Studi Kerugian Ekonomi dan Sosial Akibat Narkoba, tahun 2008. hlm. 7.

[5] Sumarmo Ma’sum, Op.Cit, hlm. v.

[6] Ibid. hlm. 27-28.

[7] Jurnal BNN Aware and Care, edisi 08 tahun 2009. hlm. 1.

[8] Arnowo, Pokok-pokok UU NO. 35/2009 tentang Narkotika Dan Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan, Penyalahgunaan Dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) Badan Narkotika Nasional, disampaikan pada Presentasi Studi Kunjungan, 6 Juni 2010, slide 5.

[9] David G. Hallstrom, Sr , Apakah pecandu narkotika korban atau penjahat?, diakses dari www.google.com pada 26 Oktober 2010.

[10] Badan Narkotika Nasional Pusat Pencegahan, Buku Saku P4GN, (Jakarta: 2009), hlm 42-45.

[11] Ray, Pasal Karet UU Narkotika Mengebiri Hak-hak Korban Napza, diakses dari www.satuportal.com pada 26 Oktober 2010.

[12] Majalah SINAR Badan Narkotika Nasional, edisi khusus 2010, hlm. 50.

[13] Majalah SINAR Badan Narkotika Nasional, edisi khusus 2010 hal. 54.

[14] Badan Narkotika Nasional, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Sejak Dini. (Jakarta: 2009), hlm. 36.

[15] Republik Indonesia, Undang-Undang, tentang, Narkotika, Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, Pasal 1 butir 14.

[16] Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Masalah Penyalahgunaan Narkotika/Alkohol/Zat-zat Adiktif dan Penanggulangannya.(Jakarta: 1987), hlm. 55.

[17] Badan Narkotika Nasional, Op. Cit., hlm. 38.

[18] A. Kadarmanta, Penegakan Hukum Bagi Pecandu Naroba Paradigma UU.35/2009, diakses dari A.Kadarmanta.blogspot, pada tanggal 7 Januari 2011.

[19] Penjelasan pasal 103 ayat 1 huruf a UU No. 35 Tahun 2009 : “Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata memutuskan bagi Pecandu Narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa putusan hakim tersebut merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang bersangkutan.”

[20] Penjelasan pasal 103 ayat 1 huruf b UU No. 35 Tahun 2009 : “Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata menetapkan bagi Pecandu Narkotika yang tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa penetapan hakim tersebut bukan merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang bersangkutan. Penetapan tersebut dimaksudkan untuk memberikan suatu penekanan bahwa Pecandu Narkotika tersebut walaupun tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika, tetapi tetap wajib menjalani pengobatan dan perawatan. Biaya pengobatan dan atau perawatan bagi Pecandu Narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika sepenuhnya menjadi beban dan tanggung jawab negara, karena pengobatan dan atau perawatan tersebut merupakan bagian dari masa menjalani hukuman. Sedangkan bagi pecandu Narkotika yang tidak terbukti bersalah biaya pengobatan dan/atau perawatan selama dalam status tahanan tetap menjadi beban negara, kecuali tahanan rumah dan tahanan kota.”

[21] Data Residen 2010, Unit Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional, hlm. 3.

[22] Ibid.